jumlah penduduk di indonesia beserta tingkat pendidikan

jumlah penduduk di indonesia beserta tingkat pendidikan

Secara umum data dapat diartikan sebagai kumpulan informasi yang diperoleh dari suatu pengamatan berupa angka, lambang atau sifat yang dapat memberikan gambaran tentang suatu keadaan atau persoalan. Data juga dapat didefinisikan sebagai sekumpulan informasi atau nilai yang diperoleh dari pengamatan (observasi) suatu objek. Oleh karena itu data yang baik adalah data yang bisa dipercaya kebenarannya (reliable), tepat waktu dan mencakup ruang lingkup yang luas atau bisa memberikan gambaran tentang suatu masalah secara menyeluruh  merupakan data relevan.
Sedangkan kependudukan atau demografi merupakan ilmu yang mempelajari dinamika kependudukan manusia. Demografi meliputi ukuran, struktur, dan distribusi penduduk, serta bagaimana jumlah penduduk berubah setiap waktu akibat kelahiran, kematian, migrasi, serta penuaan.
Analisis kependudukan dapat merujuk masyarakat secara keseluruhan atau kelompok tertentu yang didasarkan kriteria seperti pendidikan, kewarganegaraan,agama atau etnisitas tertentu.
Dengan demikian data kependudukan adalah segala  tampilan data penduduk dalam bentuk resmi maupun tidak resmi yang diterbitkan oleh badan-badan pencatatan kependudukan (pemerintah maupun non pemerintah), dalam berbagai bentuk baik angka, grafik, gambar dan lain lain.

Liputan6.com, Jakarta Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) saat melihat hasil sensus pada tahun 2000, memproyeksikan jumlah penduduk di Indonesia pada 2010 tidak mengalami lonjakan besar. Hanya berkisar 232 sampai 233 juta jiwa. Namun ternyata, hasil itu melesat dan di luar perkiraan.

"Hasil sensus mengofirmasi bahwa penduduk kita pada tahun 2010 sebesar 237,6 juta. Padahal, asumsi kita waktu mengubah proyeksi dari tahun 2000 ke 2010 sudah dengan segala macam isunya," kata Kepala BKKBN, Prof. dr. H. Fasli Djalal, Ph.D, Sp.GK dalam Rapat Koodinasi Nasional (Rakornas) Kemitraan Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga Tahun 2014, Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Selasa (25/3/2014)

"Isu yang dipergunakan adalah bagaimana wajib belajar 9 tahun disukseskan. Bagaimana ekonomi ditingkatkan. Bagimana fasilitas dinaikan dan bagaimana pula dengan SDM yang ada. Toh, hasilnya, dalam 10 tahun itu melesat," kata dia menambahkan.

Jika sudah seperti ini, kata Fasli, apakah keseluruhan dapat ditanggung oleh bangsa ini. Terlebih bila kita melihat kondisi bangsa yang tergolong ringkih, di mana banjir dan longsor masih menjadi kendala yang cukup berarti.

Fasli Djalal juga mengatakan, ketahanan pangan, kecukupan air bersih, kemiskinan dan lain-lainnya ditentukan dari seberapa seriusnya kita mengatur kehidupan. "Betapa pun tingginya angka pertumbuhan ekonomi kita, maka segalanya akan termakan habis bila dinamika kehidupannya tidak benar," kata dia.

Untuk, tugas besar bagi BKKBN saat ini adalah bagaimana caranya memberikan informasi kepada siapa saja, terutama remaja, sehingga nantinya para remaja ini akan memperoleh kehidupan dan keluarga yang bahagia.

Lebih lanjut Fasli Djalal mengatakan, alasan mengapa hal seperti ini dimulai dari remaja, karena saat ini jumlah dari para remaja itu sangat besar.

Remaja yang duduk di bangku SMA, SMK, sebesar 9 juta jiwa. Sedangkan usia anak 16 sampai 18 tahun yang memilih keluar dari sekolah dan memilih kerja serabutan atau pengangguran sebesar 4 juta jiwa. Dan sisanya, 6 juta jiwa terdiri mahasiswa yang berada di 3200 kampus swasta dan 93 kampus negeri.

"Remaja seperti ini yang memerlukan pedampingan tentang kesehatan reproduksi, tentang kematangan usia perkawinan, serta tentang mimpi strategi membangun keluarga. Sehingga nantinya, mereka akan terbebas dari perceraian, dan melahirkan keluarga yang kokoh," kata Fasli menerangkan.
PENDIDIKAN 
Pembangunan pendidikan di Indonesia telah menunjukkan keberhasilan yang cukup besar. Wajib Belajar 6 tahun, yang didukung pembangunan infrastruktur sekolah dan diteruskan dengan Wajib Belajar 9 tahun adalah program sektor pendidikan yang diakui cukup sukses. Hal ini terlihat dari meningkatnya partisipasi sekolah dasar dari 41 persen pada tahun 1968 menjadi 94 persen pada tahun 1996, sedangkan partisipasi sekolah tingkat SMP meningkat dari 62 persen tahun 1993 menjadi 80 persen tahun 2002 (Oey-Gardiner, 2003).Tetapi dibalik keberhasilan program-program tersebut, terdapat berbagai fenomena dalam sektor pendidikan. Kasus tinggal kelas, terlambat masuk sekolah dasar dan ketidakmampuan untuk meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi merupakan hal yang cukup banyak menjadi sorotan di dunia pendidikan. Kasus putus sekolah yang juga banyak terjadi terutama di daerah pedesaan menunjukkan bahwa pendidikan belum banyak menjadi prioritas bagi orang tua. Rendahnya prioritas tersebut antara lain dipicu oleh akses masyarakat terhadap pendidikan yang masih relatif kecil, terutama bagi keluarga miskin yang tidak mampu membiayai anak mereka untuk meneruskan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Selain itu, ujian akhir sekolah dianggap tidak dapat menjadi ukuran kemampuan murid. Nilai rata-rata ujian akhir yang rendah seringkali diikuti oleh persentase kelulusan yang cukup tinggi. Pada tahun ajaran 1998/1999, rata-rata nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) SMA di Indonesia adalah 3,99. Padahal nilai minimum untuk lulus adalah 6. Tetapi pada periode tersebut, 97 persen siswa SMA dinyatakan lulus (Oey-Gardiner, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa nilai ujian akhir bukanlah satu-satunya alat untuk menyaring kelulusan murid.

sumber